Ada kebahagiaan kecil yang selalu saya bawa saat bepergian: sebuah buku sketsa tipis, pena favorit, dan secangkir kopi yang panas. Kombinasi sederhana itu sering kali membuka pintu ke percakapan yang tak terduga, pemandangan yang tiba-tiba tampak seperti komposisi sempurna, atau bahkan ide desain yang kemudian jadi proyek kecil di studio rumah. Tulisan ini bukan panduan seni, melainkan catatan perjalanan — tentang bagaimana seni dan perjalanan bercampur menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar foto di feed.
Sketsa di Meja Kafe: Ritual yang Tak Pernah Basi
Saya punya kebiasaan: setiap kali mampir ke kafe baru, saya selalu mengeluarkan sketchbook dalam lima menit pertama. Kadang yang saya gambar hanya piring sisa, gerakan barista, atau cahaya yang masuk dari jendela. Sering orang menatap, kadang ikut ngobrol. Dari obrolan sederhana itulah muncul referensi lintas budaya, rekomendasi galeri kecil, atau undangan untuk melihat studio lokal. Yah, begitulah — sebuah garis sederhana bisa mengawali persahabatan.
Ngomong-ngomong soal Warna: Cara Saya Memilih Palet Saat Traveling
Warna di kota berbeda-beda. Di Semarang pagi hari terasa tembaga dan debu, sedangkan di perkampungan pesisir, warna punya aroma laut; biru pudar dan kuning matahari. Saya memilih palet dengan cara ngawur: ambil tiga sampel yang paling menarik di jalan, campur di kertas, dan lihat apa yang harmonis. Kadang palet itu jadi basis ilustrasi poster kecil, kadang hanya catatan visual untuk kenangan. Proses ini mengajari saya bahwa warna juga cerita—ia menuntun memori kembali ke tempat itu ketika saya membuka buku sketsa setelah berbulan-bulan.
Kisah Temu Tak Terduga: Seorang Pemahat dan Sebotol Jamur
Satu kali di pasar pagi, saya duduk menggambar pedagang sayur. Seorang pria tua menawarkan secangkir kopi dan bercerita tentang patung kayu yang ia kerjakan di tirisan matahari. Ia mengundang saya ke rumahnya; di sana ia menunjukkan koleksi patung kecil—beberapa terinspirasi dari mimpi, beberapa dari mimik wajah yang ia lihat di kerumunan. Dari kunjungan itu lahir kolaborasi spontan: saya menggambar sketsa untuk pameran kecilnya, dan ia memberi saya sejumlah miniatur untuk dijadikan objek studi. Temu seperti ini membuat perjalanan terasa seperti jejaring rahasia yang terus berkembang.
Design Thinking on the Road — Bukan Presentasi, Tapi Ketemu Jalan
Saya sering menerapkan prinsip-prinsip desain dalam perjalanan: observasi, ide cepat, prototipe (bisa berupa sketsa kasar), dan refleksi. Di lapangan, prototipe sering berupa coretan di napkin atau foto yang diberi anotasi. Kemudian saya kembali ke notebook, memoles ide itu menjadi sesuatu yang lebih rapi. Proses sederhana ini membantu saya memecah masalah visual: bagaimana membuat tampilan poster yang menangkap suasana pasar malam, atau bagaimana menyusun portofolio yang terasa personal. Ternyata, pemikiran desain bisa muncul dari meja kafe sesederhana menaruh cangkir kopi di sudut gambar.
Sekali-sekali saya juga mencari inspirasi di luar lingkup lokal. Ada blog dan portofolio yang sering saya kunjungi untuk melihat bagaimana orang lain menyusun visual narrative—salah satunya yang pernah saya temukan lewat link kebetulan adalah fabiandorado. Melihat karya orang lain tak membuat saya minder; justru memacu eksperimen kecil: coba tekstur ini, ubah tipografi itu, campur media analog dan digital secara lebih liar.
Tentu saja, tidak semua perjalanan menghasilkan karya indah. Beberapa hari hanya berisi coretan buruk, cat yang tumpah, dan kopi yang keburu dingin. Tapi saya belajar menerima fase itu. Kegagalan visual adalah bagian dari proses—sama pentingnya seperti sketsa yang langsung berhasil. Kadang saya hendak membuang halaman-halaman itu, lalu berubah pikiran karena melihat perkembangan garis-garis yang tak disengaja jadi menarik setelah beberapa minggu diabaikan.
Akhirnya, buku sketsa saya jadi semacam arsip hidup — potongan kota, wajah, bau makanan, dan ide-ide yang tak selesai. Setiap kali membuka kembali, saya tidak sekadar melihat gambar; saya merasakan percakapan, hujan yang lewat, dan tawa orang yang duduk di samping meja kafe. Itulah esensi perjalanan seni bagi saya: bukan mengejar hasil sempurna, melainkan mengumpulkan momen yang, ketika disatukan, membentuk cerita yang jujur dan hangat.
Jadi, jika kamu punya kesempatan untuk berjalan dengan sketchbook dan secangkir kopi, lakukan. Bawa rasa ingin tahu, sedikit keberanian untuk memulai percakapan, dan biarkan pertemuan tak terduga menuntun jalanmu. Siapa tahu, dari obrolan singkat itu akan lahir proyek yang tak pernah kamu rencanakan. Dan jika tidak? Yah, begitulah hidup—tetap penuh warna meskipun tidak selalu rapi digaris.