Mencari Warna di Tengah Perjalanan: Sketsa, Ide, dan Rasa

Ada hari-hari ketika dunia tampak seperti kanvas abu-abu. Lalu aku naik kereta, berjalan di jalan yang belum pernah kutapaki, atau cuma duduk di kafe sambil menatap orang berlalu. Seketika, warna muncul. Bukan hanya merah cerah atau biru laut — tapi nuansa kecil: percikan oranye dari tas pengantar makanan, hijau lumut di dinding tua, dan bayangan ungu yang tiba-tiba membuat pagi terasa berbeda. Artikel ini bukan makalah teori. Ini lebih seperti obrolan santai sambil menyeruput kopi, berbagi cara aku menangkap warna, mengubahnya jadi sketsa, dan menyimpan rasa itu dalam ide-ide yang kadang jadi desain, kadang cuma catatan di saku.

Sketsa: Peta kecil perjalanan

Sketsa bagiku adalah peta. Bukan peta yang rapi dan detail; melainkan coretan cepat yang menangkap momen. Dalam perjalanan, aku selalu membawa buku sketsa kecil. Ukurannya pas untuk dimasukkan ke tas. Ketika melihat sebuah jendela dengan tirai yang sobek atau gerobak kaki lima dengan lampu kuning redup, aku langsung menggores. Garisnya tak sempurna. Justru itu yang menawan. Goresan kasar sering menyimpan lebih banyak energi daripada lukisan yang terlalu rapi.

Aku kerap memadukan cat air tipis dengan pulpen hitam, atau hanya menggunakan pensil. Ada juga saat-saat aku merekam warna dengan foto, lalu menyalin paletnya ke sketsa saat ada waktu. Teknik ini membantu menerjemahkan nuansa nyata ke dalam bahasa visual yang bisa kubaca lagi. Dan ketika ide menguap, sketsa itu selalu menjadi pengingat — kenangan visual yang bisa aku tahan, kutimbang, dan kembangkan.

Warna yang muncul di jalan: observasi sederhana

Amati. Itu langkah pertama. Warna sering tersembunyi dalam hal yang tampak sepele. Bayangkan sebuah kios kecil: catnya terkelupas, tapi ada sapuan biru muda di sudut yang membuatmu merasa dingin sekaligus rindu. Kenapa biru itu bekerja? Karena memiliki kontras dengan warna di sekitarnya, atau karena ikon kecil yang menambah narasi. Menuliskan pengamatan ini seperti mengumpulkan kata-kata untuk cerita visualmu.

Saat melakukan observasi, aku bertanya beberapa hal sederhana: apa sumber warna ini? Bagaimana pencahayaan berubah sepanjang hari? Siapa yang berinteraksi dengannya? Kadang jawaban-jawaban kecil itu membuka ide besar. Misalnya, palet kafe pagi bisa jadi tema seri desain untuk branding, atau kombinasi warna pasar malam menginspirasi ilustrasi seri cerita tentang kota.

Ide dan teknik — campuran praktis dan ngawur

Ide tidak datang dari udara. Mereka datang dari kebiasaan. Satu trik yang sering aku pakai: “hari tanpa alat digital”. Seminggu sekali aku memaksa diri untuk hanya memakai tangan, kertas, dan cat. Tanpa undo. Tanpa layer. Ini memaksa keputusan cepat, dan sering menghasilkan kejutan menyenangkan. Kejutan itu lalu kubawa ke layar ketika saatnya digitalisasi tiba.

Teknik lain: membuat moodboard analog. Kumpulkan serbet, tiket, bungkus permen, dan potongan majalah. Potong, tempel, susun. Ada kepuasan berbeda saat menyusun palet secara fisik. Di sisi lain, jangan takut ngawur. Kadang ide terbaik muncul dari “kecelakaan” — noda kopi yang jadi tekstur latar, atau goresan tak sengaja yang kemudian kukembangkan jadi pola desain.

Menyimpan rasa: mengubah ingatan jadi karya

Perjalanan mengajarkanku bahwa rasa itu harus disimpan, bukan hanya sebagai foto. Rasa perlu diolah. Setelah pulang, aku buka kembali sketsa dan catatan. Aku biarkan mereka duduk beberapa hari sebelum kembali. Jarak ini membantu menyaring yang sentimental dari yang benar-benar menarik secara visual. Yang tersisa jadi lebih jujur.

Terkadang aku menemukan inspirasi online untuk memicu reinterpretasi. Aku pernah mengecek portofolio seniman lain untuk melihat bagaimana mereka menerjemahkan palet kota; salah satunya yang menarik perhatianku adalah fabiandorado. Tapi lebih sering, prosesnya pribadi: memadukan kenangan, warna, dan suara menjadi sesuatu yang bisa kubagikan — berupa ilustrasi, seri foto, atau bahkan tulisan pendek.

Akhirnya, mencari warna di tengah perjalanan itu bukan soal estetika semata. Ini soal bagaimana kita memberi nama pada pengalaman. Sketsa menyimpan detik, ide merangkai detik menjadi narasi, dan rasa memberi kehidupan pada semuanya. Jadi, lain kali kau merasa kota hanya berwarna abu-abu, cobalah menoleh lebih dekat. Bawa buku sketsa. Duduklah di kafe. Dengarkan ritme langkah kaki, hirup kopinya, dan biarkan warna menemukanmu.

Leave a Reply