Papan cat kecil, pensil usang, dan kamera saku—itu yang biasanya saya bawa keluar saat ada rasa penasaran menyelinap. Catatan jalan saya bukan jurnal rapi yang penuh tanggal dan agenda. Mereka lebih mirip kolase: goresan tangan, noda kopi, sketsa yang setengah jadi, dan beberapa kata pendek yang menempel seperti stiker pada memori. Kadang saya memandangnya seperti lukisan visual yang memberi napas pada perjalanan; kadang mereka menjadi peta kenangan yang menuntun saya kembali ke tempat yang sama, meski tubuh sudah jauh.
Saya percaya visualisasi membuat pengalaman lebih tahan lama. Ketika saya menggambar sebuah pola ubin di stasiun tua, saya sebenarnya sedang menyimpan tekstur waktu—bagaimana kaki berjalan di lantai itu, bau aspal basah, dan percakapan yang samar di latar. Sketsa sederhana membantu saya mengingat nuansa yang sulit dikodekan hanya dengan kata-kata. Ada kepuasan tersendiri saat melihat halaman penuh coretan; itu seperti mendengar ulang sebuah lagu lama yang menggugah.
Selain itu, catatan visual memberi ruang untuk refleksi. Saat menatap lukisan mini saya beberapa minggu kemudian, saya kerap menemukan detail yang terlewat saat di lokasi. Maka saya tink-tink, menambahkan warna, menggarisbawahi bayangan, sampai cerita itu terasa utuh. Prosesnya lambat, tetapi menyenangkan—sebuah meditasi mobile.
Saya tidak butuh banyak. Satu sketchbook kecil, pena, cat air dalam kotak mini, dan kamera ponsel. Kadang sebatang pensil mekanik dan penghapus yang suka membuat noda. Peralatan sederhana mendorong saya bekerja cepat dan tidak terlalu mengritik diri. Batasan itu sebenarnya membebaskan; ketika sarana terbatas, kreativitas malah tumbuh seperti rumput di sela trotoar.
Selain alat, saya membawa kebiasaan: berhenti minimal sekali tiap dua jam, menurunkan volume pikiran, memperhatikan detail. Orang-orang sering bertanya, apakah saya merasa canggung melukis di depan umum? Jujur, pada awalnya iya. Sekarang saya malah menikmati percakapan kecil yang muncul—seorang penjual roti yang ingin tahu, seorang anak kecil yang menunjuk warna yang saya gunakan. Interaksi itu sendiri kadang menjadi bagian terbaik dari catatan.
Di sebuah kafe kecil di Alfama, saya pernah duduk berjam-jam sambil menggambar jendela-jendela tua yang berlapis cat terkelupas. Di meja sebelah, seorang pemusik memainkan fado dengan kesedihan yang indah. Saya menoreh cepat, menahan momen agar tidak hilang. Seorang wanita tua menghampiri, membuka tas besarnya dan memberi saya sepotong kue. “Untuk melukis lebih lama,” katanya sambil tertawa. Momen itu sederhana, tetapi mengajarkan saya bahwa seni membuka jalan untuk kebaikan kecil.
Setelah itu saya menuliskan beberapa baris pendek di samping sketsa: nada fado, bau kue, dan cara cahaya sore memantul pada cermin kecil di meja. Hal-hal kecil itu bersatu menjadi sebuah cerita yang terasa lebih besar dari total elemennya. Saya pulang dengan hati lebih ringan, sketchbook penuh, dan kenangan manis yang tidak selalu bisa ditangkap kamera.
Bagi saya, desain bukan hanya soal estetika—itu adalah cara berkomunikasi. Ketika saya merancang catatan visual, saya berpikir tentang ritme, kontras, dan keseimbangan; seperti menyusun kalimat yang enak dibaca. Kadang saya merujuk karya orang yang saya kagumi untuk belajar; beberapa waktu lalu saya menemukan blog dan portofolio yang menginspirasi saya untuk bermain tipografi sederhana—silakan lihat misalnya fabiandorado yang memberi naluri visual segar.
Ketika perjalanan dan desain bertemu, hasilnya bukan hanya gambar yang cantik. Itu berubah menjadi alat untuk memahami dunia, menyusun kembali gagasan, dan berbagi cara pandang. Catatan jalan saya kemudian menjadi jembatan antara pengalaman dan refleksi, antara momen dan makna.
Di akhir hari, saya menyadari bahwa catatan visual bukan sekadar arsip. Mereka adalah teman yang berbisik, “ingat ini,” dan kadang menuntun saya kembali ke tempat-tempat yang dulunya asing menjadi akrab. Saya terus berjalan, terus melukis, terus menulis sedikit di tepi halaman—karena setiap perjalanan memang pantas dicatat, bukan untuk dipamerkan, tetapi untuk dirasakan ulang di kemudian hari.
Jalan-Jalan dan Kisah Hidupku: Seni Desain dan Pemikiran Visual Menulis blog ini seperti menapak di…
Sambil nongkrong di kafe yang hangat, aku suka memandangi uap kopi sambil memikirkan hidup dan…
Di balik layar blog pribadi ini, aku menulis dengan tangan yang kadang gemetar karena terlalu…
Cerita Sisi Lain Blog Pribadi: Seni, Desain, Pemikiran Visual, dan Perjalanan Deskriptif: Jejak Warna di…
Saat kita ngobrol santai di kafe, kopi tetap mengepul, dan suara mesin espresso jadi latar…
Jalanan sebagai kanvas (serius dulu, ya) Aku selalu bilang: kota itu nggak cuma gedung dan…