Jam di tangan menunjukkan kota ini baru buka mata, aku sudah berkeliaran dengan secangkir kopi dan sketchbook yang selalu rewel—halaman-halamannya suka melipat sendiri saat angin lewat. Ini bukan postingan travel yang pamer lokasi atau daftar “10 tempat wajib foto”. Ini lebih ke catatan jalanan yang penuh coretan, bau gorengan, tawa tukang becak, dan warna-warna yang tiba-tiba bikin mood berubah. Namanya juga jalan, kadang lurus, kadang muter-muter, tapi selalu ada kejutan.
Saat tiba di suatu kota, hal pertama yang aku cari bukan landmark, melainkan palet warna. Warna gerobak bakso, warna cat rumah di gang sempit, warna kain penjual sayur—semua itu nyambung jadi mood kota. Di satu sudut, aku duduk di teras kecil sambil nyoret-nyoret, mencoba menangkap bagaimana matahari memantul di dinding tua. Ternyata, matahari punya bahasa warna sendiri: hangat tapi juga sedikit macam manik-manik kotor. Lucu, ya.
Aku sering membiarkan orang lewat jadi model dadakan. Tangan yang menggenggam tas belanja, anak kecil yang berlarian mengejar balon, kakek yang melintas dengan langkah pelan—semua gerak itu bikin sketsa hidup. Kadang aku menambahkan cat air di beberapa bagian, yang bikin gambar terasa “hidup” dan sedikit dramatis. Hasilnya? Sebuah halaman penuh noda kopi dan cerita.
Kota itu seperti galeri tanpa label. Pintu yang dipilih pemiliknya, pola ubin yang entah kenapa selalu sama, hingga stiker di motor—semua itu desain yang punya cerita. Aku sering berhenti di depan rumah-rumah tua, mengamati tekstur cat yang terkelupas seperti lapisan waktu. Ada kebahagiaan tersendiri saat menemukan kombinasi warna yang nyentrik tapi anehnya pas: merah bata, hijau lumut, dan kuning yang seperti ingus kering (ya, agak jorok tapi nyata).
Banyak ide datang dari hal kecil: cara seseorang menyusun buah di meja, atau pola kain sarung yang dipakai ibu-ibu. Aku catat, aku foto, aku coret. Kadang ide itu jadi pola kain buatan sendiri, atau palet warna di Instagram yang isinya lebih banyak meme daripada tutorial. Kreativitas itu relatif—bisa muncul saat kita lagi antri bakso. Jangan remehkan antrian, bro.
Seni visual di kota bukan cuma yang tergambar di dinding atau galeri. Kadang yang paling mengena adalah percakapan singkat di warung kopi. “Mas, disuruh jaga toko, bosnya belum datang,” kata pemilik warung sambil menyapu remah roti. Nada suaranya, ritme bicaranya, bahkan jeda saat ia mengunyah rokok—itu semua menjadi tekstur cerita yang bisa aku gambar dengan kata-kata.
Obrolan seperti ini sering menambah dimensi pada sketsa. Aku jadi tahu, warna-warna di kota juga punya emosi: ada warna yang ceria karena pesta, ada warna yang kusam karena kehilangan. Kalau aku jeli, sketsa itu nggak cuma visual—dia jadi arsip kecil kehidupan.
Di tengah perjalanan, aku pernah nemu blog keren soal visual thinking yang ngebantu ngatur ide-ide acak jadi rapi. Ada yang baca juga? Kalau belum, coba melipir ke fabiandorado—banyak referensi visual yang asik buat dikulik sambil nyoret.
Pernah ikut workshop mural dadakan di pojok kota. Awalnya malu, takut coretannya kaya anak TK. Tapi setelah disiram semangat bareng-bareng, hasilnya nggak terlalu memalukan dan malah penuh energi. Itu pelajaran berharga: kadang kita takut berekspresi karena mikir orang lain akan nilai. Padahal, seni itu tentang nyoba dan ketawa bareng kegagalan kecil.
Pasar pagi adalah studio terbesar. Suara, bau, warna—semua rame kayak festival. Aku suka bikin cepat, sketch gestural yang nggak peduli proporsi. Tujuannya bukan jadi ahli anatomi, tapi nangkep momen. Kalau ada yang nanya, “Lagi apaan, Mas?” aku jawab santai, “Ngoleksi warna kota.” Mereka cuma ngangguk, mungkin mikir aku agak aneh. Ya tapi, gapapa—kreatif itu memang sedikit aneh.
Di akhir hari, aku duduk di jendela penginapan, buka sketchbook yang sekarang lebih mirip buku masak penuh coretan. Ada warna yang langsung bikin rindu, ada juga yang bikin lega karena akhirnya keluar. Kota-kota itu seperti kertas bekas yang penuh bekas lipatan—ada bekas yang indah, ada yang bikin tangan kotor. Semua itu cerita.
Setiap kali pulang, aku nggak cuma bawa foto atau suvenir, tapi juga palet warna baru dan cerita yang bakal jadi bahan buat sesi menggambar malam-malam. Semoga catatan ini bikin kamu kepo dan mungkin pengin jalan-jalan sambil bawa sketchbook juga. Ingat, kota mana pun selalu menyimpan warna—tinggal kita berani buka mata dan hati sedikit lebih lebar.
Jalan-Jalan dan Kisah Hidupku: Seni Desain dan Pemikiran Visual Menulis blog ini seperti menapak di…
Sambil nongkrong di kafe yang hangat, aku suka memandangi uap kopi sambil memikirkan hidup dan…
Di balik layar blog pribadi ini, aku menulis dengan tangan yang kadang gemetar karena terlalu…
Cerita Sisi Lain Blog Pribadi: Seni, Desain, Pemikiran Visual, dan Perjalanan Deskriptif: Jejak Warna di…
Saat kita ngobrol santai di kafe, kopi tetap mengepul, dan suara mesin espresso jadi latar…
Jalanan sebagai kanvas (serius dulu, ya) Aku selalu bilang: kota itu nggak cuma gedung dan…