Ada sesuatu tentang berjalan tanpa tujuan yang membuat mata bekerja lebih keras. Kota-kota, desa, gang sempit, trotoar berkerikil — semuanya berubah jadi halaman kosong yang menunggu coretan. Saya selalu membawa satu buku sketsa kecil dan kamera tua; keduanya cukup untuk menangkap suasana. Bukan hanya pemandangan, tapi juga ritme dan percakapan tak sengaja yang terjadi di depan mata. Perjalanan tanpa peta bukan tentang tersesat, tapi tentang membuka ruang untuk melihat ulang; memberi nama pada hal yang biasanya kita lewati begitu saja.
Ketika kita berjalan, otak kita memproses lapisan-lapisan visual sekaligus: warna, bentuk, tekstur, dan cahaya. Semuanya berpadu menjadi komposisi alami. Jalan-jalan kota misalnya, adalah kolase: poster pudar menempel di tembok, motor berhenti di bawah pohon, tumpukan karton di sudut. Bagi seorang pembuat visual, momen-momen itu adalah elemen yang menunggu untuk diatur ulang di atas kertas. Saya suka memikirkan tiap sudut sebagai fragmen cerita. Lalu saya memilih yang paling berisik atau paling lembut dan menggambar. Praktiknya sederhana: lihat, pilih, abadikan. Ulangi.
Satu kali, di sebuah warung kopi pinggir jalan, saya duduk menggambar seorang penjual kacang. Dia sibuk, tangannya cekatan, wajahnya berkerut karena senyum. Saya menutup buku sketsa sesaat ketika dia bertanya, “Lukisan?” Saya bilang, “Ya, cuma menangkap hari.” Dia tertawa. Kami ngobrol tentang rute yang selalu ia lalui, tentang pelanggan lama yang kini pindah, tentang hujan yang sering membuat kacangnya agak keras. Itu percakapan singkat tapi bermakna. Kembali ke buku, saya menambahkan sedikit noda kopi pada kertas—seolah-olah saya membawa pulang aroma warung bersamanya. Hal-hal kecil seperti itu yang bikin perjalanan visual jadi hidup.
Bicara alat, saya lebih memilih ringkas. Pensil 2B, pulpen hitam, cat air mini, dan kamera saku. Tak perlu peralatan mewah untuk mulai menangkap dunia. Tekniknya sederhana: kerja cepat, jangan perfeksionis. Kadang garis tak rapi malah lebih jujur. Teknik pewarnaan juga penting; cat air tipis memberi kesan cahaya, sedangkan sapuan tebal menonjolkan tekstur. Selain itu, saya membuat kebiasaan kecil: selalu mencatat waktu, bau, atau satu kata yang mewakili suasana pada halaman terakhir sketsa. Nanti, ketika membuka kembali buku itu di rumah, kata-kata itu menghidupkan kembali konteks yang mungkin hilang saat pulang. Kalau butuh referensi komposisi atau inspirasi, saya sering berkeliaran online juga—contohnya, saya menemukan komposisi warna yang menarik di fabiandorado, lalu menyesuaikannya dengan langit sore di kota kecil yang saya kunjungi.
Berikut beberapa kebiasaan praktis yang saya pakai: pelan-pelan, jangan buru-buru; duduk di bangku dan biarkan orang lewat; ambil foto referensi tapi jangan lupakan sketsa langsung; dan dengarkan suara kota. Latihan lain yang menyenangkan: pilih satu warna dominan untuk seluruh halaman sketsa. Ini memaksa kita melihat nuansa, bukan detail saja. Yang terakhir, catat sedikit narasi—bisa satu kalimat, atau tiga kata. Narasi itu yang nanti membuat gambar terasa seperti perjalanan, bukan sekadar ilustrasi.
Kapan pun saya pulang dari perjalanan, saya lebih suka membawa satu buku sketsa penuh cerita dibanding belanja oleh-oleh. Gambar-gambar itu berfungsi seperti peta waktu: membuka kembali halaman-halamannya seperti menelusuri langkah kaki di jalan yang pernah kita lewati. Mereka mengingatkan bahwa setiap sudut memiliki suara. Dan bila suatu hari saya merasa buntu, saya tinggal membuka album sketsa, membaca kembali catatan kecil, dan pergi lagi—tanpa rencana, hanya kanvas jalanan di tangan.
Jalan-Jalan dan Kisah Hidupku: Seni Desain dan Pemikiran Visual Menulis blog ini seperti menapak di…
Sambil nongkrong di kafe yang hangat, aku suka memandangi uap kopi sambil memikirkan hidup dan…
Di balik layar blog pribadi ini, aku menulis dengan tangan yang kadang gemetar karena terlalu…
Cerita Sisi Lain Blog Pribadi: Seni, Desain, Pemikiran Visual, dan Perjalanan Deskriptif: Jejak Warna di…
Saat kita ngobrol santai di kafe, kopi tetap mengepul, dan suara mesin espresso jadi latar…
Jalanan sebagai kanvas (serius dulu, ya) Aku selalu bilang: kota itu nggak cuma gedung dan…