Ada kebiasaan kecil yang selalu saya lakukan sebelum berangkat: menata ransel. Bukan sekadar memasukkan baju atau dompet, melainkan memilih warna. Pena biru? Ya. Pensil abu-abu? Selalu. Tapi yang paling penting adalah selembar kertas kosong — penjaga momen. Selembar yang nanti menjadi sketsa jalanan, catatan visual, atau hanya coretan cepat saat menunggu kereta. Kebiasaan ini membuat setiap perjalanan terasa seperti pameran kecil warna yang saya bawa sendiri.
Warna memandu cara saya memperhatikan. Di kota baru, mata saya mencari hal-hal sederhana: atap berkarat, gerobak penuh rempah, neon yang bergetar di hujan. Warna memberi ritme pada pemandangan. Saya pernah berdiri lama di pinggir jalan hanya untuk melihat bagaimana cahaya sore mengubah tembok menjadi oranye tembakau. Singkatnya: warna menunjuk apa yang penting. Ia membuat saya memilih sudut, menentukan skala, memutuskan apakah layak diabadikan dalam sketsa lima menit atau patut ditunggu sampai malam.
Di ransel saya ada beberapa benda yang selalu dipilih — buku sketsa kecil, spidol hitam tipis, cat air travel, kuas lipat. Ringan. Portable. Pilihan yang memaksa saya bekerja cepat, lincah. Seperti hidup: keterbatasan sering kali memicu kreativitas.
Suatu kali di pasar pagi, saya duduk di bangku kayu, menghadap lorong sayur. Ikan yang dijemur, plastik warna-warni, pembeli yang sibuk tawar-menawar. Tangan saya mulai bergerak. Garis-garis kasar, noda cat yang tak disengaja. Satu sketsa menghasilkan lima catatan singkat tentang bau, suhu, dan suara. Sketsa itu akhirnya menjadi halaman kecil di blog, lalu teman mengirim pesan: “Kamu berhasil menangkap suasana.” Saya tersenyum. Itu bukan pujian untuk garis saja, melainkan untuk cara saya memilih detail — dan itu berawal dari warna yang menarik mata saya di pasar.
Sketsa jalanan selalu menyimpan cerita yang tidak ditulis. Ada percakapan di sebelah meja kopi, tawa anak-anak yang berlari, ojek online yang menyalakan lampu. Ketika saya kembali membuka buku sketsa beberapa bulan kemudian, halaman-halaman itu terasa seperti potongan waktu. Warna-warna yang dulunya sekadar noda kini menghubungkan memori, membawa kembali aroma dan suhu hari itu.
Saya percaya perjalanan adalah eksperimen. Jalanan menjadi kanvas, ransel adalah meja laboratorium. Di sana saya menguji kombinasi warna, mencoba teksur baru, dan mengamati bagaimana komposisi bekerja dalam situasi yang berubah-ubah. Kadang hasilnya mengecewakan. Kadang memuaskan. Keduanya penting. Kegagalan di jalan mengajarkan saya lebih banyak daripada pengajaran yang rapi di studio.
Selain itu, perjalanan mengajarkan tentang keterbukaan. Bertemu seniman atau desainer lokal memberi saya perspektif lain tentang warna dan fungsi. Saya pernah terinspirasi oleh seorang pelukis jalanan yang memperkenalkan saya pada palet yang tak biasa, sehingga saya mencoba memadukan rona cokelat basah dengan hijau pudar. Saya menuliskan pengaruh itu di blog dan menyisipkan link untuk referensi visual, seperti karya yang mempengaruhi saya misalnya fabiandorado. Saling berbagi membuat gagasan berkembang.
Selain kenang-kenangan dan foto buram, saya membawa pulang cara melihat. Cara mengurai pemandangan menjadi elemen-elemen kecil yang bisa disusun kembali: garis, warna, ruang negatif. Itu berguna bukan hanya untuk melukis, tapi juga untuk menyederhanakan hidup. Saya belajar memilih barang, memilih prioritas. Selembar kertas putih lebih berharga daripada beberapa pinjaman kamera mahal jika itu membantu saya menangkap sesuatu yang benar-benar saya rasakan.
Di akhir setiap perjalanan saya menaruh ulang benda-benda itu di ransel. Menata ulang bukan sekadar persiapan fisik, melainkan ritual introspeksi. Apa warna yang saya cari minggu ini? Apa yang saya temukan? Kadang jawabannya nyata: biru laut, kunyit, abu-abu aspal. Kadang jawaban itu berupa pelajaran: perlambatan, keberanian, atau cara melihat yang baru. Dan besok, ketika ransel itu kembali dibuka, seluruh dunia menunggu untuk ditandai lagi dengan garis dan warna.
Jalan-Jalan dan Kisah Hidupku: Seni Desain dan Pemikiran Visual Menulis blog ini seperti menapak di…
Sambil nongkrong di kafe yang hangat, aku suka memandangi uap kopi sambil memikirkan hidup dan…
Di balik layar blog pribadi ini, aku menulis dengan tangan yang kadang gemetar karena terlalu…
Cerita Sisi Lain Blog Pribadi: Seni, Desain, Pemikiran Visual, dan Perjalanan Deskriptif: Jejak Warna di…
Saat kita ngobrol santai di kafe, kopi tetap mengepul, dan suara mesin espresso jadi latar…
Jalanan sebagai kanvas (serius dulu, ya) Aku selalu bilang: kota itu nggak cuma gedung dan…