Ada momen ketika langit berubah warna—dari biru tipis ke oranye lalu ungu—dan saya selalu merasa seperti sedang menutup buku hari itu dengan halaman terbaik. Senja bagi saya bukan sekadar pertunjukan visual; ia adalah jeda, undangan untuk menggambar lagi, menulis sedikit, dan mengingat kenangan perjalanan yang menempel di kulit memori. Duduk dengan secangkir kopi, buku sketsa, dan kenangan, rasanya semua terasa utuh.
Senja punya kualitas pencahayaan yang unik: bayangan panjang, warna lembut, dan detail yang tak perlu tajam untuk tetap terasa indah. Untuk yang suka menggambar, senja adalah guru terbaik karena mengajarkan tentang nilai, komposisi, dan keberanian meninggalkan detail. Dengan sapuan kuas atau pensil yang cepat, suasana bisa tertangkap lebih jujur daripada realism yang terpaksa.
Saya selalu membawa buku sketsa kecil saat bepergian. Bukan karena ingin jadi pencipta mahakarya. Tapi karena dengan sketsa saya menyimpan momen, bukan foto. Sketsa memaksa saya memperlambat pandangan. Kita memilih hal mana yang penting. Yang lain dihapus. Itu latihan yang bagus untuk memilih, dalam seni dan hidup.
Waktu itu, di sebuah kota kecil yang bahkan namanya terasa seperti sedang beristirahat, saya duduk di bangku taman menunggu matahari turun. Di depan saya, seorang anak kecil mengejar gelembung sabun, sementara seorang kakek membaca koran seakan-akan tidak ada yang berubah sejak pagi. Saya menggambar garis-garis cepat: pohon, bangku, dan siluet anak itu. Hasilnya? Lucu. Tapi menyenangkan.
Ya, kadang sketsa yang bagus justru yang penuh kesalahan. Ada garis tak sengaja yang malah menambah karakter. Ada noda kopi di halaman yang sekarang saya anggap sebagai bayangan. Hidup terlalu singkat untuk menunggu kondisi sempurna. Biarkan ada noda. Biarkan ada tawa kecil waktu lupa menaikkan tutup botol tinta.
Ada satu sketsa yang selalu membuat saya tersipu. Di sebuah dermaga, saya mencoba menangkap gerakan perahu yang berayun. Saya terlalu fokus pada ombak sehingga tidak sadar angin mengambil topi saya. Topi terbang. Topi mendarat di kepala sejenis bebek karet yang sedang dijual di stand sebelah. Pemilik stand tertawa. Saya juga. Banyak orang menatap. Saya melambaikan tangan dramatis seolah itu bagian dari pertunjukan. Sketsa itu jadi kenangan konyol yang saya peluk erat.
Kebodohan kecil seperti itu penting. Ia mengingatkan bahwa perjalanan bukan kompetisi. Tidak perlu selalu Instagrammable. Kadang harus memalukan sedikit. Kadang harus ceroboh. Itu yang bikin cerita pulang dengan wajah merah tapi hati kenyang.
Saat saya menyusun sketsa-sketsa kecil di rumah, seperti menyusun potongan puzzle. Ada pemandangan jalan sempit dengan lampu kuning, ada senja di atap sebuah kafe, ada wajah-wajah yang bahkan saya lupa nama. Tapi setiap gambar punya aroma tempatnya sendiri. Ini cara saya menyimpan perjalanan: bukan hanya rute dan tiket, tapi suasana yang tak bisa ditukar.
Salah satu seniman yang sering saya kunjungi inspirasinya adalah Fabian Dorado. Cara dia bermain dengan garis dan warna memberi saya keberanian bereksperimen. Kalau penasaran, lihat karya-karyanya di fabiandorado—kadang kita butuh melihat karya orang lain untuk mengingat alasan kita memulai.
Senja, sketsa, dan perjalanan—ketiganya berkelindan seperti benang yang tak mau dipisah. Mereka mengajari saya untuk hadir, untuk memilih, dan untuk tidak takut menjadi sedikit berantakan. Siapa sangka, lembar kertas kusam dan pensil tumpul bisa jadi penyimpan memori yang lebih hangat daripada hard drive canggih.
Kalau kamu juga punya ritme kecil—mungkin musik, mungkin menggambar, mungkin berjalan tanpa tujuan—pelihara itu. Bukan untuk dipamerkan, tapi untuk pulang. Pulang ke diri yang lebih lembut. Pulang dengan cerita yang menempel di hati. Duduklah lagi saat senja turun. Ambil pensil. Nggak perlu sempurna. Cukup jujur. Dan kalau bisa, bawa pulang satu cerita lucu. Cerita yang nanti, ketika dibuka kembali, membuat kamu tersenyum sendiri sambil menyesap kopi.
Jalan-Jalan dan Kisah Hidupku: Seni Desain dan Pemikiran Visual Menulis blog ini seperti menapak di…
Sambil nongkrong di kafe yang hangat, aku suka memandangi uap kopi sambil memikirkan hidup dan…
Di balik layar blog pribadi ini, aku menulis dengan tangan yang kadang gemetar karena terlalu…
Cerita Sisi Lain Blog Pribadi: Seni, Desain, Pemikiran Visual, dan Perjalanan Deskriptif: Jejak Warna di…
Saat kita ngobrol santai di kafe, kopi tetap mengepul, dan suara mesin espresso jadi latar…
Jalanan sebagai kanvas (serius dulu, ya) Aku selalu bilang: kota itu nggak cuma gedung dan…