Catatan Jalanan: Seni Visual, Kopi, dan Pertemuan Tak Terduga

Jalanan sebagai kanvas (serius dulu, ya)

Aku selalu bilang: kota itu nggak cuma gedung dan lampu lalu lintas. Ia punya memori visual. Ada lapisan-lapisan cat, poster sobek, coretan, dan stiker yang menempel di tiang telepon—semacam arsip kecil yang bercerita kalau kamu sabar membaca. Di suatu sore ketika hujan berhenti setengah, aku berdiri di depan tembok yang penuh mural. Warna-warnanya tebal, bertekstur, kadang kasar seperti pendapat yang disembunyikan; kadang lembut, menyisakan sapuan kuas yang membuatku ingin mengulang gerakan tangan itu sendiri.

Pengamatan itu serius karena aku percaya bahwa seni publik mengajarkan empati visual. Seniman yang memilih jalanan bukan sekadar mencari perhatian—mereka memilih dialog. Dialog itu terjadi ketika seorang pengendara motor menoleh, ketika anak kecil menunjuk dan bertanya, ketika seorang lansia tertawa melihat detail kecil yang hanya ia pahami. Di situlah seni benar-benar hidup: bukan di katalog, tapi di perjalanan pulang kita yang basah basah koper.

Ngopi, menggambar, ngobrol—ritual sederhana

Di setiap kota yang kujelajahi, aku punya ritual: cari kedai kopi kecil, duduk di pojok dekat jendela, keluarkan sketchbook. Aroma kopi selalu bekerja seperti alarm lembut yang bilang: “Kamu boleh berhenti.” Aku bukan hipster yang berpose, tapi aku menikmati proses: memegang cangkir hangat, menatap uap yang naik, lalu menuliskan dua kalimat acak sebelum mulai gambar. Kadang aku mencoba menggambar barista yang sedang membuat latte art; kadang aku menggambar wajah orang-orang yang lewat—hanya garis-garis cepat, bukan portret sempurna.

Pertemuan tak terduga sering terjadi di momen-momen itu. Seorang turis dari jauh bertanya arah, dan percakapan berlanjut sampai membahas pameran kecil yang akan dibuka minggu depan. Atau aku bertemu seorang seniman lokal yang menunjukkan laman karyanya—sebuah halamannya sederhana tapi kuat, seperti fabiandorado yang karyanya terasa akrab sekaligus asing, mengundang refleksi. Kita tukar kartu, tukar cerita, lalu berpisah dengan janji samar untuk bertemu lagi.

Detail kecil yang bikin ketemu makna (santai saja)

Kadang hal kecil itu yang paling melekat. Sebut saja kursi yang berdecit di pojok kafe, atau coretan huruf “LOVE” yang tertimpa oleh poster konser punk. Aku suka memperhatikan bagaimana orang memperlakukan ruang publik: ada yang meletakkan buku di bangku taman untuk dibaca orang lain, ada yang meninggalkan amplop kecil berisi catatan acak di depan galeri. Detail ini membuatku merasa tidak sendirian. Bahkan di kota yang terasa anonim, ada koneksi-koneksi kecil yang membentuk jaringan kebangsaan kecil antarwajah.

Aku juga punya opini: foto yang terlalu rapi di feed Instagram seringkali menghapus kebetulan — dan kebetulan adalah dramaturgi kehidupan. Kejutan kecil yang membuatmu menoleh bukan karena komposisi sempurna, tapi karena ada tumpukan kardus yang anehnya membentuk siluet kota, atau karena anak kecil yang menari di bawah hujan dan membuat semua orang tersenyum. Biarkan feedmu punya kekacauan sesekali. Itu manusiawi.

Tentang perjalanan, memilih jalan yang salah, dan pulang

Sering aku mengambil jalan “salah” sengaja. Maksudnya bukan tersesat tanpa tujuan, tapi sengaja berjalan ke gang yang sepi, menuruni tangga yang terlihat kumuh, memasuki pasar malam yang penuh lampu neon. Di sana aku menemukan hal-hal yang tak mungkin aku temukan jika selalu mengikuti peta. Seorang pelukis duduk di bangku, selimut cat menempel di bajunya; seorang penjual kue menawarkan satu potong gratis karena aku tersenyum padanya; ada workshop grafis yang menempelkan selebaran bertuliskan “Belajar Cetak Saring, Sabtu 10.00”. Itu adalah undangan kecil untuk melanjutkan percakapan visual—dan aku sering menerimanya.

Pulang dari perjalanan seperti ini selalu memberi kantong penuh cerita. Aku pulang dengan buku catatan yang penuh coretan, beberapa foto yang tidak sempurna, sebuah kertas kecil bertuliskan nomor telepon seorang teman baru. Kopi yang terakhir aku minum di peron stasiun menjadi penutup yang manis; rasanya pahit tapi hangat, seperti pertemuan-pertemuan yang tidak direncanakan namun terasa penting. Dalam artian kecil: hidup ini penuh seni, kalau kita mau melihatnya. Dan kota, dengan segala kebisingan dan kesendiriannya, adalah studio terbesar yang bisa kita pijak.

Jadi, lain kali kalau kamu melihat tembok penuh coretan atau kedai kopi tanpa nama di sudut kota—singgahlah. Bawa sketchbook, atau hanya telinga. Siapa tahu kamu menemukan sesuatu yang mengubah cara pandangmu, atau setidaknya mendapatkan secangkir kopi enak dan cerita untuk dibagikan nanti malam.